Kamis, 01 Agustus 2013

Mulianya Hati Seorang Buruh Cuci (Kisah Nyata)


Www.yasirnoman.blogspot.com
Tetanggaku, Bu De Inah orang memanggilnya. Dia hidup seorang diri di sebuah kamar kos-kosan yang berukuran 2x3 Meter, kalau dilihat dari wajah mungkin umurnya sudah lebih dari setengah abad. Semenjak suaminya meninggal karena kecelakaan kerja 8 tahun lalu, Bu De Inah memutuskan untuk merantau Ke Kota Batam untuk menyambung hidup. Di kota ini Bu De Inah bekerja sebagai buruh cuci, selain itu dia juga bekerja sebagai pembuat pentol bakso. Hanya pekerjaan seperti itulah yang dia mampu, karena tak berijazah.
Minggu sore itu saat aku sedang tertidur ada yang mengetuk pintu, aku bangun lalu membuka pintu ternyata ada Bu De Inah didepan pintu.
“Sore Buuuu... “. Sapa saya.
“Sore nak, oh ya ini Ibu bawakan nasi kotak untuk kamu, tadi anak majikan saya ulang tahun. Saya ingat kamu kalau pulang kerja pasti lapar.” Bu De Inah menyodorkan kotak yang berisi nasi itu kepada saya.
“Waaaahh,,! Terima kasih banyak ya Bu.” Jawab
saya dengan senang kebetulan memang lagi lapar.
“Iya nak, dimakan ya.. “. Bu De Inah sambil tersenyum lalau meninggalkan pintu kamar saya.
Wah, nikmat rasanya saat perut lapar dikasih makan gratis. ‘Hal kecil yang diberikan kepada orang yang tepat akan menjadi hal besar yang tiada ternilai’. Itulah ungkapan yang tepat untuk apa yang baru saja Bu De Inah lakukan.
Bulan puasa telah tiba, pulang kerja biasanya saya langsung ke masjid karena disana menyediakan buka puasa bersama. Tapi sore itu saya terpaksa buka puasa di kantor karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, saya hanya buka puasa dengan air mineral. Habis magrib saya pulang, dikos tak ada yang bisa dimakan persediaan makanan sudah habis, uang dikantong pun sudah tak ada lagi. saat sedang terbaring dikamar melepas lelah, ada yang mengetuk pintu.
“Nak, kamu nggak sholat traweh.” Tanya Bu De Inah.
“Mau sholat Bu tapi bentar lagi,” . saya sambil membuka pintu.
“Nak, ini Ibu bawakan pisang sama pentol bakso buat kamu. Dimakan ya....”. Ibu sambil meninggalkan pintu kamar saya.
Beberapa Pisang masak yang sudah agak kehitam-hitaman  dan beberapa pentol bakso kecil-kecil, sepertinya itu sisa pembuatan pentol bakso yang tidak masuk hitungan. Saya goreng, lalu saya tambahkan beberapa bumbu, ternyata nikmat sekali.
Ya Allah mulia sekali hati Ibu ini, dia sangat ingin berbagi meskipun apa yang dia beri bukanlah sesuatu yang istimewa, bukan sesuatu yang sempurna, bukan pula sesuatu yang mahal tapi sangat berarti. Kadang kita berpendapat bahwa memberi itu haruslah barang yang sempurna, lalu kalau kita tidak ada barang yang sempurna kapan kita berbaginya..? Tidak, inti dari berbagi itu adalah ikhlas. Dan berbagilah kepada orang yang tepat.
Dua hari kemudian ketika selesai sholat subuh tidak sengaja saya mendengar Bu De Inah berbicara ditelpon, karena suasana pagi yang hening jadi saya mendengar semua yang dia bicarakan. Mungkin pendengaran Bu De Inah sudah agak terganggu jadi bicaranya terdengar agak keras dan ponsel genggamnya di loudspeakerkan. Mereka berbicara bahasa jawa, beruntung saya mengerti bahasa jawa. Percakapannya saya terjemahkan ke Bahasa Indonesia..
“Halo Ibu, apa kabar? Sudah sholat subuh belum”. Terdengar suara anak laki-laki.
“Iya nak., ini baru saja selesai, sahur tadi makan apa?”. Tanya Bu De Inah.
“Anu Bu, tadi dikasih tetangga sayur nangka sama tempe bacem”. Jawab anak muda itu.
“Syukur alhamdulillah kalo begitu, banyak-banyak bersyukur nak, O ya pengumumannya gimana  Nak lulus gak?’. Tanya Bu De Inah.
“Kemarin sore saya mau telpon Ibu tapi sepertinya Ibu belum pulang kerja makanya saya memutuskan untuk telpon Ibu pagi ini. Ibu,, Alhamdulillah anakmu diterima di Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada di Jogja, Tuhan menjawab do’a-do’a kita. Soal biaya Ibu tidak perlu terlalu khawatir, disana banyak beasiswa”.  Anak muda itu berbicara dengan suara yang gak gemetar dan diringi tangis bahagia.
Dada saya terasa sesak, saya merinding, saya mencoba mendengar dari jarak yang lebih dekat, karena tak ada suara lagi setelah anak muda itu berbicara, saya mencoba mengintip dari kaca jendela, tenyata Bu De Inah tersungkur sujud dan menangis bersyukur dalam bahagianya.
Ya Allah, sungguh indah rencana-Mu. Sungguh luar biasa balasan-Mu atas hamba-hamba Mu yang berbagi dan bersyukur.

Jelas sekali pesan moral dalam sepenggal kisah nyata ini: Berbagi dan bersyukur, meski Bu De Inah tak tau banyak tentang agama, tapi Bu De Inah dikaruniai hati yang mulia dan anak yang berbakti. Keadaan tak pernah membatasi kita untuk bersyukur. Kali ini bukan cerita piktif, ini saya alami sendiri. Saya sendiripun tak tau dimana klimaks dari kisah ini tapi, Semoga pembaca blog Www.yasirnoman.blogspot.com terhibur dan dapat memetik hikmah dari cerita inspiratif ini. Mohon kripik dan sahangnya untuk membuat postingan-postingan yang lebih baik.
Salam penulis:  Rahman_yasir

0 komentar: