Johannes Florian & Rahman Yasir |
Ini kisah
perjalananku memperjuangkan Visa Schengen di Kedutaan Besar Jerman Jakarta
Pusat pada 02 Januari 2013 lalu. Berawal dari pertemuanku dengan seorang Bule asal Jerman yang sedang bersepeda
disepanjang jalan Kota Lubuklinggau (Sumsel), waktu itu aku baru saja pulang
dari kuliah. Aku berjalan pelan dengan sepeda motor kesayangan yang ku beli
dengan uang saku ku sendiri. Dari kejauhan aku melihat sesuatu yang tidak biasa
aku lihat di Kota ku itu, seorang laki-laki berambut pirang yang sedang
mengayuh sepeda. Aku dekati, ternyata itu adalah seorang bule. Aku sapa dengan Bahasa Inggris, tak disangka dia merespon
dengan baik, tak seperti bule-bule yang pernah aku kenal sebelumnya seperti
bule dari Italy, dari Texas USA, dari Belanda dan bule-bule yang berasal dari
negara-negara di Asia lainnya. Yang ini beda, mengajakku berbicara dan akhirnya
minta diantarkan ke Hotel terdekat, aku ajak Johannes (nama bule) ke Hotel
Hakmaz Taba yang tidak jauh dari kos ku..
“Alright Mr, I think you need to take a rest
first. At 7 pm. o’clock to night I’ll be back to this Hotel, because I have to
teach my Students in my home.”
Kira-kira
seperti itulah ucapanku sebelum pamit meninggalkan
bule itu di hotel. Aku harus
pulang, karena beberapa siswa ku sudah menunggu dirumah. Aku buka kursus bahasa
inggris dikos-kosan ku, dari situlah aku bisa membiayai kuliahku dan sekolah adikku.
Jam 7 malam
aku menepati janji untuk datang di hotel itu, kami bercerita pajang lebar. Aku
merasa asyik ngobrol dengannya karena bahasa inggrisnya mudah dipahami (tidak
seperti bule kebanyakan belepotan dan sulit dimengerti). Akhirnya aku menawarkannya
untuk tinggal dikosan ku untuk beberpa hari, dia setuju dengan ide itu. Jam 9
pagi di hari selanjutnya dia check out dari hotel itu. Kami menjadi
sangat akrab, dia menceritakan tentang dirinya dan kehidupannya, dan aku juga
menceritakan tentang diriku dan kehidupanku. Dia berencana ingin nginap satu
malam saja ditempatku, tapi dia urungkan niat itu karena melihat sertifikat
berbahasa inggris yang ku gantungkan di atas daftar mimpi di dinding kamar ku
menunjukkan bahwa besok (11 Oktober 2012) adalah hari ulang tahunku yang ke 20.
Aku senang mendengar keputusan itu, karena semkin lama dia tinggal ditempatku,
maka semakin bayak ilmu yang aku dapat terutama kosakata bahasa inggris.
Malam ulang
tahun ku itu terlihat biasa-biasa saja tak ada yang special (biasanya juga
memang gitu kok.. hehehe). Besok aku harus masuk kuliah pagi, karena ada mata
kuliah yang mengharuskan aku masuk pagi. Saat aku buka buku catatan kuliah ku,
aku melihat gulungan kertas jatuh dari dalam buku ku. Ku ambil, ternyata itu
adalah gulungan surat kecil yang berisikan ucapan selamat ulang tahun dan
beberapa do’a (Johannes mengnut Agama Kristen). Bukan hanya surat, dalam gulungan
itu terdapat uang yang berjumlah 400 ribu rupiah dan selembar uang Euro sebesar
€ 50 (1 euro= ± Rp.12.000,- berarti sekitar 600 ribuan) hanya tuhan yang tau
senangnya hati ku saat itu. Jam kuliah telah berkhir, seorang teman mengajakku ngantre
bensin di SPBU yang tidak jauh dari kampus ku, jadinya lama karena antreannya
panjang dan membuat aku kesal. Sesampai di kos ku. Ternyata sahabat-sahabatku yang
lain sudah menuggu dengan kejutan yang luar biasa, ternyata mereka sengaja
merencanakan itu. Subhanallah...aku
tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Acara berakhir dengan meriah.
Sore harinya,
Johannes berencana ingin melanjutkan perjalanannya. Namun, dia terlihat lesu
dan tidak enak badan, beberapa kali dia ke toilet. Tenyata dia diare karena
banyak makan santan. Akhirnya diare itu berlangsung membuatnya sakit berat. Bagaimanapun
aku harus merawatnya sampai sembuh semampuku, rela meninggalkan kuliah dan
aktivitas mengajarku sampai dia bisa melanjutkan perjalanannya. Setelah dinyatakan
sembuh dia masih ingin tinggal bersamaku. Ku ajak kekampung ku (Desa Noman Kec.
Rupit Kab. Musi Rawas, Sumsel). Dari kejauhan mulai terdengar “Bule masuk kampung!!!”, begitulah sorak
anak-anak di kampungku.
Sesampai
dirumah ku, ternyata Ibu (aku memanggilnya Mak) sedang terbaring lemah karena
sakit. Johannes prihatin dengan keadaan itu, sedangkan tak ada uang yang Ibu
miliki kecuali uang yang ku selipakan dibawah kasur Ibu, itupun uang dari pemberian
Johannes sebagai hadiah ulang tahunku, tapi Ibu lebih membutuhkan uang itu.
“Rahman, we
have to bring your mother to the hospital today. I’ll pay the cost!”
“Rahman, kita harus membawakan ibu mu ke
rumah sakit hari ini. aku akan bayar biayanya!”
Kata-kata
itu membuatku berderai air mata, aku bahagia, tapi disisi lain aku malu pada
bule itu. Apa boleh buat, aku buang jauh-jauh rasa malu itu, yang penting ibuku
selamat. Bukan hanya Ibuku, dia melihat warna kulit Kakak ku pucat dan agak
kuning. Rupanya Johannes tau kalau kakak ku sedang mengidap penyakit Liver. Dia meminta kakak ku untuk diajak
juga ke rumah sakit. Mereka berdua diobati. Entah berapa juta rupiah bule itu
mengorbankan uangnya untuk mengobati Ibu dan Kakak ku.
“Tuhan, sungguh luar biasa caramu membalas
segala apa yang hambamu lakukan. Aku hanya bantu menyembuhkan bule itu dengan
seadanya, hanya mengorbankan waktu dan sedikit kekhawatiran tapi dia balas
dengan istimewa. Subhanallah”
Hanya
beberapa hari dia tinggal di kampung ku, setelah itu dia memutuskan untuk
melanjutkan perjalanannya ke Thailand. Rasa sedih dan kehilangan sudah pasti
melanda ku dan keluarga ku. Rasa terima kasih yang tak terhingga kami ucapkan. Perpisahan
itu menyisakan air mata di kedua pipi Ibu karena anak angkatnya akan pergi jauh
netah kapan kesini lagi. Begitupun kakak ku dia juga kehilangkan saudara
angkatnya itu meski kakak ku hanya mengerti “Yes
dan No” saja tapi seolah-olah dia paham maksud baik buleh itu, apalagi aku, menemukannya bak bertemu mutiara. Kehilangannya
terasa seperti kehilangan Bapak yang kedua kalinya. Namun, segera aku menyadari
setiap ada pertemuan akan ada perpisahan. Itulah hukum alam.
Sebelum dia
benar-benar pergi dia menawarkanku ke Jerman.
“Do you want
to go to Germany?” tanya dia.
“Of course I
want, but it is very expensive” jawab aku dengan keraguan.
“No no no,
you don’t need to think about living cost and so on, I’ll pay everything. I
want to make your dream become true. You want to go to abroud, don’t you?”
“Tidak tidak tidak, kamu tidak perlu
memikirkan tentang biaya hidup dll, aku akan membayar semuanya. Aku ingin
mewujudkan mimpi kamu. Kamu ingin pergi ke luar negeri, iya kan?”
Aku
merinding mendengar kata-kata itu. “Jerman?
SubhanAllah, itu negarnya orang-orang hebat, negara tempat Pak Habibie menuntut
ilmu!” Ucap dalam hati, hati ku bergemuruh, lagi-lagi aku meneteskan air
mata gara-gara bule itu.
Kami mulai
menyusun strategi, mulai dari membuat paspor (seperti yang aku ceritakan dalam postingan
Pengalaman Mengurus Paspor ) ,
mencari informasi tentang mengajukan visa, dll. Dia berangkat, komunikasi kami
dilanjutkan melalui email.
Kamis 27
Desember 2012, aku berangkat ke Jakarta untuk mengajukan Visa Schengen (Visa yang berlaku untuk 25 negara di Eropa) di
Kedutaan Besar Jerman yang beralamat di Jl. M. H. Thamrin Jakarta Pusat itu. Cukup
lelah setelah selama 24 jam di Bis, Jum’at 28 Desember 2012 adalah hari pertama
ku menginjak bumi Jakarta (kalo menginjak tanah, di Jakarta sulit mau cari
tanah, hampir semua permukaan bumi dibeton dan di aspal). Sudah berumur 20
tahun aku masih tercengang melihat gedung-gedung pencakar langit yang selama
ini hanya aku lihat ditipi. “Waaaah...
ini ya Jakarta,..!” aku merasa seperti bukan di Indonesia, melihat jembatan
layang berlapis-lapis, indah sekali pokoknya. “Mak, akhirnya aku bisa melihat Ibu Kota Jakarta yang selama ini hanya
ada dalam lamunanku, dan tak lama lagi aku akan melihat Negara Jerman”. aku
berseru dalam hati. Bis yang aku tumpangi berhenti di Pulo Mas entah daerah apa itu, seharusnya aku berhenti di terminal Kampung Rambutan, rasa gelisah mulai
menyelimuti hati anak kampung ini. akhirnya
alamat saudara yang di cari ketemu juga yaitu di Cimanggis Depok. Dirumah seorang
DR (Doktor) muda M Faried Wajdy namanya, orang yang selama ini tak pernah tau
dengan ku, rasa khawatir pasti ada. Karena takut tidak bisa menyesuaikan diri
selama dirumahnya. Ternyata pemikiranku salah, dia supel, asyik diajak ngobrol dan sangat menghargai. Kekhawatiran itu
mulai hilang.
Gedung Kedutaan Jerman |
Minggu, 30
Desember 2012 aku dan keponakanku yang kuliah di Jakarta itu mulai mencari
alamat Kedutaan Jerman yang ada di tengah-tengahnya Jakarta itu. Sehabis sholat
subuh kami mulai berangkat, kami memilih pagi karena takut terjebak macet (taulah
kondisi Jakarta gimana). Setelah mengelilingi Kota Jakarta, akhirnya alamat itu
ditemukan. Kantor itu tidak jauh dari
Bundaran HI, tepatnya di belakang Hotel Mandarin Oriental. Hati terasa
lega, Oh iya, sebelumnya aku sudah buat Janji online dulu dengan pihak Kedutaan
supaya bisa masuk kantor itu, aku memilih tanggal 2 Januari 2013, jam 8:15
pagi. Jadi hari itu hanya Survey saja.
Sebelum
pulang ke Depok kami jalan-jalan ke Monas, dengan beberapa uang aku bisa naik
ke atas Monumen aNasional
atau akrab disebut Monas. Dari atas Monas aku melihat bebas Kota Jakarta yang
terbentang luas. Tapi aku tak melihat satupun manusia yang special, yang
cantik, jelek, kaya, miskin, pintar, bodoh, terhormat, hina. Semuanya terlihat
sama tak ada bedanya, padahal aku hanya melihat dari atas Monas yang tingginya
tidak seberapa. Hmmmm......apa lagi
Tuhan yang melihat dari langit yah..!? Sudahlah, buang rasa sombong ini
jauh-jauh, kita tidak ada apa-apanya.
Hari yang
ditunggu-tunggu telah tiba. Rabu, 02 Januari 2013. Seperti biasa selesai sholat
subuh kami berangkat, jam 6 pagi sudah tiba Bundaran HI, sebelum jam 8 aku
masih duduk-duduk didepan HI sambil melihat shooting siaran langsung berita
pagi TV One. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, aku sudah berdiri
didepan pintu gerbang Kedutaan yang dijaga sangat ketat itu. Ada sekitar 15
orang yang ngantre didepan gerbang itu, aku diurutan ke 10 dari depan, namun
antre berjalan begitu cepat, karena yang tidak membuat janji online disuruh
pulang dan tidak akan diizinkan masuk, begitupun yang telat. Waaahh.. disiplin sekali tempat ini, apakah
semua orang di Jakarta seperti ini? Atau hanya kantor ini saja karena pola
pikir dan kerjanya mengikuti gaya orang-orang di eropa? Tanyaku dalam hati.
Aku
dipersilahkan masuk karena memenuhi syarat. O ya aku sudah mempersiapkan
beberapa dokumen sebagai syarat mengajukan Visa Schengen sbb:
1. Bukti Appointment
online (Bukti perjanjian online)
2. Paspor (Ini yang paling wajib)
3. Asuransi kesehatan & perjalanan (aku
pakai asuransi AXA)
4. Tanda booking pesawat (Rute Indnesia-Jerman)
5. Surat rekomendasi dari tempat kerja (aku
rekom dari Wahid’s College
tempat ku ngajar)
tempat ku ngajar)
6. Surat undangan pribadi dari pengundang
7. Surat undangan resmi yang dikeluarkan oleh
kantor imigrasi negara
setempat (Jerman)
setempat (Jerman)
8. Surat rekomendasi dari kampus
9. Rekening koran (data transaksi bank yang di
cetak pihak bank 3 bulan
terakhir)
terakhir)
10. Photo biometric 2 lembar ukuran 2,5 x 3,5 cm
(Background putih)
Okesip.
Untuk mengurus itu semua menggunakan uang yang dikirim dari Jerman. deg-degan
aku naik ke lantai 2 dari gedung setinggi 8 tingkat itu. Aku dipersilahkan
duduk menunggu, jam 8:15 tepat aku dipanggil, menyerahkan semua berkas, dan
akhirnya di interview tentang alasan
mau ke Jerman dsb. Lulus interview Bahasa Indonesia, selanjutnya aku di
interview dengan Bahasa Inggris, semua berjalan lancar. Akhirnya aku diminta
membayar uang Visa sebesar € 60 atau sebesar Rp.770.000,- dan aku diberikan
selembar kertas sebagai kwitansi pembayaran dan tanggal kapan aku harus datang
lagi kesana untuk mengambil visa. Aku pulang ke Depok tempat tinggalku
sementara itu.
Sampai
dirumah aku buka laptopku dan mengirimkan email kepada Johannes memberi kabar
bahwa semuanya berjalan lancar. Dia senang mendengar itu, dan dia membalas
email aku mengatakan bahwa dia dan ibunya (pensiunan guru bahasa Inggris di
Jerman) siap menyambut kedatangan ku pada 15 Maret 2013 (mengajukan visa
minimal 3 bulan sebelum keberangkatan) nanti, Johannes juga dua hari yang lalu
mendatangi Universitas Stuttgart di Tubingen tempat dia kuliah dulu mencari
kemungkinan peluang untuk aku kuliah disana. Wah anganku melayang
setinggi-tingginya, hanya aku dan Tuhan lah yang tau bahagianya hatiku saat itu.
Aku tak bisa bayangkan saat aku menginjak Bumi Eropa nanti, dengan Visa Schengen aku bisa bebas keluar
masuk 25 negara di eropa kecuali Inggris. Paris akan menjadi negara kedua yang
akan aku kunjungi, dan mersakan 9 jam penerbangan yang transit di Abu Dabbi
itu.
Jum’at 04
Januari 2013 waktunya aku mengambil visa di Keduataan Besar Republic Federal
Jerman itu. Jam 10 pagi aku sudah ikut antri untuk masuk mengambil visa,
senangnya bukan main. Kulihat orang didepanku ada yang tersenyum setelah
membuka paspornya (Visa ditempelkan didalam lembaran2 paspor), ada yang
berderai air mata setelah membuka paspornya. “Ya Allah, termasuk kelompok manakah aku ini nanti, apakah orang yang
tersenyaum bahagia ketika keluar dari gerbang ini, ataukah harus menangis
tersedu-sedu ketika keluar dari gerbang ini?” tanyaku dalam hati. Tak terasa
sudah giliranku.
“Benar
dengan Tuan Rahman Yasir?”. Tanya petugas bagian penyerahan paspor itu.
“Ii iya Pak,
benar Saya Sendiri” jawab aku dengan kaku.
Petugas itu
memberikan paspor dan sebuah amplop. Aku tak sabar membukanya. Sampai diluar
gerbang aku langsung membuka pasporku, halaman demi halaman dengan tergesa-gesa
aku buka, namun aku tidak menemukan tempelan visa itu. Hanya ada cap warna biru
dalam paspor itu. Hatiku mulai kacau balau talepok
ajor, aku buka amplop itu. Ada 2 lembar surat yang tulisannya Bahasa Jerman,
untung aku sempat diajarkan bahasa Jerman oleh Johannes sehingga aku dapat
memahami inti dari isi surat itu, ternyata isinya adalah penolakan karena
alasan aku masih terlalu muda dan takut nanti aku jadi Imigran gelap “Aaaah.. kurang sogok kaliiii..!!!” ucapku
dengan keras.
Badanku serasa
tak ada tulang, lemah gemulai, langit terasa mau runtuh, nafasku sesak, air
mataku mulai mengalir. “Ya Allaaaaah...
buyar sudah mimpi ku ini, apa aku tak berhak untuk merasakan bahagia seperti
mereka yang serba berkecukupan dan bisa kemana saja dan kapan saja mereka
mau??? Tuhaaaaan!!!... Kuatkan aakuuuuuuuuuuuuu,,,..!!!” aku mertap
terduduk di pinggir pagar itu. Tak lama security mengusir ku karena
disekeliling pagar itu ada mata-mata CCTV yang selalu mengintai.
Dengan
langkah gontai aku berjalan menuju kolam air mancur ditengah bundaran HI itu. Aku
tak begitu menghiraukan mobil yang melaju dengan kencang, saat itu aku merasa
lebih baik mati saja daripada menanggung sesal dan kesal yang berkecamuk
dihatiku. Aku berbaring telentang menghadap matahari agar Tuhan melihat ku di
pinggir kolam air mancur di tengah Ibu Kota Jakarta itu, kepalaku terasa panas.
Aku menceburkan kepalaku ke dalam kolam itu, aku tak ubahnya orang gila saat
itu. Banyak orang-orang didalam mobil menyaksikan aku, aku tak peduli.
Jam 11;30
aku memutuskan untuk sholat jum’at di Masjid Istiqlal tempatnya orang-orang
yang merasa terhormat itu sholat. Disitu aku menemukan ketenangan, aku buka
lagi surat itu, dibagian bawah aku menemukan tulisan yang menyatakan kalau aku
keberatan dengan keputusan itu aku bisa mengajukan banding, ide mulai muncul. Okelah
aku coba ajukan banding, aku buat janji online lagi beberapa hari kemudian aku
datang lagi ke sana dengan membawa Surat
Banding, ternyata surat itu ditolak karena menggunakan Bahasa Indonesia,
aku harus merubah surat itu kedalam bahasa inggris. Tak ada warnet disekitar
sana, aku ditunjuk oleh security bahwa di lantai 6 Hotel Mandarin Oriental ada
tempat potocpy dan warnet, tapi mahal. Okelah soal tarif aku tak permasalahkan,
masuk hotel itu aku tak ubahnya raja, padahal mau ke warnetnya saja. Pertama kali
aku naik lift jujur aku agak kaget,
hanya berapa detik aku sudah di lantai 6 , cepat sekali entah berapa CC mesin
tangga lift itu.
Aku dijejali
dengan bahasa Mandarin (Mungkin mereka fikir aku anak cinta kaya, padahal anak
hina miskin) aku jawab dengan bahasa inggris “I don’t speak chinese, I speak
english”. Akhirnya komunikasi hanya bahasa inggris saja, aku pura-pura tak
mengerti bahasa Indoesia (kalo ada yang nanya aku mau bilang dari Jepang,,
hehehe). “Sejuk sekali hotel ini,
kapaaaan ya aku bisa ngajak Mak tinggal disini?” pikiran ku mulai
ngelantur.
30 menit
berlalu surat selesai diketik dalam bahasa inggris, dan aku potocopykan
beberapa lembar. Aku tercengang melihat tagihannya,
1. Internet 35 menit dihitung 1 jam = Rp.90.000,-
2. Print 7 ribu/lembar x 3 lembar = Rp.21.000,-
3. Potocopy 5 ribu/lembar x 2 =Rp.10.000,=
Total= Rp.121.000,-
Yasamaaaaaann.....!!! kalo cak ini pacak
untuk ngenet 40 jam. Celoteh bodoh
dalam hatiku. Aku cepat-cepat kembali ke kedutaan. Surat diterima, aku diminta
menunggu selama 2 minggu. Assalaaaat
bundung.. alangakah lamo eeeh..!!!!
Aku
memutuskan pulang ke Lubuklinggau, kali ini aku tak mau naik bis lagi, bukannya
apa. Tapi kali ini aku mau pulang naik pesawat. Itu pertama kali aku naik
pesawat dari Bandara Sukarno Hatta ke Bandara Sultan Mahmud Badarudin II Palembang.
Ooooh.. begini ya rasanya naik pesawat,
seperti naik ayunan.
Aku masih
menyimpan segunung harapan itu, 2 minggu aku di Lubuklinggau. Pak pos
mengantarkan surat ke rumah Ayah angkat ku, aku baca lagi-lagi surat itu Bahasa
Jerman. aku ke warnet minta bantuan Mbah untuk
menterjemahkannya. Hasilanya tetap sama, tetap ditolak.
Ya sudahlah. Mungkin Tuhan belum memberi aku
kesempatan sekarang, Aku hanya bisa menulis keinginan-keinginanku
namun penghapusnya kuserahkan pada Tuhan, hanya Beliau lah yang berhak memilih
yang mana yang baik dan mana yang tidak baik untukku. Aku hanyalah pemimpi,
yang selalu berharap mimpi-mimpi itu bisa terwujud. Aku hanyalah “anak janda
tua miskin” yang berharap menjadi ”anak janda tua yang kaya”.
Negara Jerman tetap ada dalam daftar mimpiku.
Arab, adalah negara pertama yang ingin ku tempuh bersama Mak sematawayang ku,
Jerman negara kedua yang ingin ku kunjungi bersama permaisuriku, Jepang adalah
negara ketiga yang ingin ku tempuh bersama permeisuri dan anak pertamaku, dan
terakhir China negara yang memiliki tembok terbesar dan terpanjang di dunia itu
akan ku kunjungi bersama keluarga besar ku. Aku ingin salah Satu dari anak ku
menuntut ilmu dinegara-negara itu. Amin ya robbal alamin..
Kali agak
panjang ceritnya, satu hal yang selalu saya harapkan adalah semoga pembaca
dapat memetik hikmah dari perjalananku ini dan pada akhirnya mengucapkan “Amiiin”
dalam hati untuk mendo’akan harpanku ini. Amiiiin..
Salam Penulis
Rahman Yasir
0 komentar:
Posting Komentar