Jumat, 16 Agustus 2013

Mimpi Yang Tertunda (Kisah Sedih Perjalanku Memperjuangkan Visa Jerman)


Johannes Florian & Rahman Yasir
Ini kisah perjalananku memperjuangkan Visa Schengen di Kedutaan Besar Jerman Jakarta Pusat pada 02 Januari 2013 lalu. Berawal dari pertemuanku dengan seorang Bule asal Jerman yang sedang bersepeda disepanjang jalan Kota Lubuklinggau (Sumsel), waktu itu aku baru saja pulang dari kuliah. Aku berjalan pelan dengan sepeda motor kesayangan yang ku beli dengan uang saku ku sendiri. Dari kejauhan aku melihat sesuatu yang tidak biasa aku lihat di Kota ku itu, seorang laki-laki berambut pirang yang sedang mengayuh sepeda. Aku dekati, ternyata itu adalah seorang bule. Aku sapa dengan Bahasa Inggris, tak disangka dia merespon dengan baik, tak seperti bule-bule yang pernah aku kenal sebelumnya seperti bule dari Italy, dari Texas USA, dari Belanda dan bule-bule yang berasal dari negara-negara di Asia lainnya. Yang ini beda, mengajakku berbicara dan akhirnya minta diantarkan ke Hotel terdekat, aku ajak Johannes (nama bule) ke Hotel Hakmaz Taba yang tidak jauh dari kos ku..

“Alright Mr, I think you need to take a rest first. At 7 pm. o’clock to night I’ll be back to this Hotel, because I have to teach my Students in my home.”

Kira-kira seperti itulah ucapanku sebelum pamit meninggalkan
bule itu di hotel. Aku harus pulang, karena beberapa siswa ku sudah menunggu dirumah. Aku buka kursus bahasa inggris dikos-kosan ku, dari situlah aku bisa membiayai kuliahku dan sekolah adikku.

Jam 7 malam aku menepati janji untuk datang di hotel itu, kami bercerita pajang lebar. Aku merasa asyik ngobrol dengannya karena bahasa inggrisnya mudah dipahami (tidak seperti bule kebanyakan belepotan dan sulit dimengerti). Akhirnya aku menawarkannya untuk tinggal dikosan ku untuk beberpa hari, dia setuju dengan ide itu. Jam 9 pagi di hari  selanjutnya dia check out dari hotel itu. Kami menjadi sangat akrab, dia menceritakan tentang dirinya dan kehidupannya, dan aku juga menceritakan tentang diriku dan kehidupanku. Dia berencana ingin nginap satu malam saja ditempatku, tapi dia urungkan niat itu karena melihat sertifikat berbahasa inggris yang ku gantungkan di atas daftar mimpi di dinding kamar ku menunjukkan bahwa besok (11 Oktober 2012) adalah hari ulang tahunku yang ke 20. Aku senang mendengar keputusan itu, karena semkin lama dia tinggal ditempatku, maka semakin bayak ilmu yang aku dapat terutama kosakata bahasa inggris.

Malam ulang tahun ku itu terlihat biasa-biasa saja tak ada yang special (biasanya juga memang gitu kok.. hehehe). Besok aku harus masuk kuliah pagi, karena ada mata kuliah yang mengharuskan aku masuk pagi. Saat aku buka buku catatan kuliah ku, aku melihat gulungan kertas jatuh dari dalam buku ku. Ku ambil, ternyata itu adalah gulungan surat kecil yang berisikan ucapan selamat ulang tahun dan beberapa do’a (Johannes mengnut Agama Kristen). Bukan hanya surat, dalam gulungan itu terdapat uang yang berjumlah 400 ribu rupiah dan selembar uang Euro sebesar € 50 (1 euro= ± Rp.12.000,- berarti sekitar 600 ribuan) hanya tuhan yang tau senangnya hati ku saat itu. Jam kuliah telah berkhir, seorang teman mengajakku ngantre bensin di SPBU yang tidak jauh dari kampus ku, jadinya lama karena antreannya panjang dan membuat aku kesal. Sesampai di kos ku. Ternyata sahabat-sahabatku yang lain sudah menuggu dengan kejutan yang luar biasa, ternyata mereka sengaja merencanakan itu. Subhanallah...aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Acara berakhir dengan meriah.

Sore harinya, Johannes berencana ingin melanjutkan perjalanannya. Namun, dia terlihat lesu dan tidak enak badan, beberapa kali dia ke toilet. Tenyata dia diare karena banyak makan santan. Akhirnya diare itu berlangsung membuatnya sakit berat. Bagaimanapun aku harus merawatnya sampai sembuh semampuku, rela meninggalkan kuliah dan aktivitas mengajarku sampai dia bisa melanjutkan perjalanannya. Setelah dinyatakan sembuh dia masih ingin tinggal bersamaku. Ku ajak kekampung ku (Desa Noman Kec. Rupit Kab. Musi Rawas, Sumsel). Dari kejauhan mulai terdengar “Bule masuk kampung!!!”, begitulah sorak anak-anak di kampungku.

Sesampai dirumah ku, ternyata Ibu (aku memanggilnya Mak) sedang terbaring lemah karena sakit. Johannes prihatin dengan keadaan itu, sedangkan tak ada uang yang Ibu miliki kecuali uang yang ku selipakan dibawah kasur Ibu, itupun uang dari pemberian Johannes sebagai hadiah ulang tahunku, tapi Ibu lebih membutuhkan uang itu.

“Rahman, we have to bring your mother to the hospital today. I’ll pay the cost!”
“Rahman, kita harus membawakan ibu mu ke rumah sakit hari ini. aku akan bayar biayanya!”

Kata-kata itu membuatku berderai air mata, aku bahagia, tapi disisi lain aku malu pada bule itu. Apa boleh buat, aku buang jauh-jauh rasa malu itu, yang penting ibuku selamat. Bukan hanya Ibuku, dia melihat warna kulit Kakak ku pucat dan agak kuning. Rupanya Johannes tau kalau kakak ku sedang mengidap penyakit Liver. Dia meminta kakak ku untuk diajak juga ke rumah sakit. Mereka berdua diobati. Entah berapa juta rupiah bule itu mengorbankan uangnya untuk mengobati Ibu dan Kakak ku.

Tuhan, sungguh luar biasa caramu membalas segala apa yang hambamu lakukan. Aku hanya bantu menyembuhkan bule itu dengan seadanya, hanya mengorbankan waktu dan sedikit kekhawatiran tapi dia balas dengan istimewa. Subhanallah”

Hanya beberapa hari dia tinggal di kampung ku, setelah itu dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Thailand. Rasa sedih dan kehilangan sudah pasti melanda ku dan keluarga ku. Rasa terima kasih yang tak terhingga kami ucapkan. Perpisahan itu menyisakan air mata di kedua pipi Ibu karena anak angkatnya akan pergi jauh netah kapan kesini lagi. Begitupun kakak ku dia juga kehilangkan saudara angkatnya itu meski kakak ku hanya mengerti “Yes dan No” saja tapi seolah-olah dia paham maksud baik buleh itu, apalagi  aku, menemukannya bak bertemu mutiara. Kehilangannya terasa seperti kehilangan Bapak yang kedua kalinya. Namun, segera aku menyadari setiap ada pertemuan akan ada perpisahan. Itulah hukum alam.

Sebelum dia benar-benar pergi dia menawarkanku ke Jerman.
“Do you want to go to Germany?” tanya dia.

“Of course I want, but it is very expensive” jawab aku dengan keraguan.

“No no no, you don’t need to think about living cost and so on, I’ll pay everything. I want to make your dream become true. You want to go to abroud, don’t you?”
“Tidak tidak tidak, kamu tidak perlu memikirkan tentang biaya hidup dll, aku akan membayar semuanya. Aku ingin mewujudkan mimpi kamu. Kamu ingin pergi ke luar negeri, iya kan?”

Aku merinding mendengar kata-kata itu. “Jerman? SubhanAllah, itu negarnya orang-orang hebat, negara tempat Pak Habibie menuntut ilmu!” Ucap dalam hati, hati ku bergemuruh, lagi-lagi aku meneteskan air mata gara-gara bule itu.

Kami mulai menyusun strategi, mulai dari membuat paspor (seperti yang aku ceritakan dalam postingan Pengalaman Mengurus Paspor ) , mencari informasi tentang mengajukan visa, dll. Dia berangkat, komunikasi kami dilanjutkan melalui email.

Kamis 27 Desember 2012, aku berangkat ke Jakarta untuk mengajukan Visa Schengen (Visa yang berlaku untuk 25 negara di Eropa) di Kedutaan Besar Jerman yang beralamat di Jl. M. H. Thamrin Jakarta Pusat itu. Cukup lelah setelah selama 24 jam di Bis, Jum’at 28 Desember 2012 adalah hari pertama ku menginjak bumi Jakarta (kalo menginjak tanah, di Jakarta sulit mau cari tanah, hampir semua permukaan bumi dibeton dan di aspal). Sudah berumur 20 tahun aku masih tercengang melihat gedung-gedung pencakar langit yang selama ini hanya aku lihat ditipi. “Waaaah... ini ya Jakarta,..!” aku merasa seperti bukan di Indonesia, melihat jembatan layang berlapis-lapis, indah sekali pokoknya. “Mak, akhirnya aku bisa melihat Ibu Kota Jakarta yang selama ini hanya ada dalam lamunanku, dan tak lama lagi aku akan melihat Negara Jerman”. aku berseru dalam hati. Bis yang aku tumpangi berhenti di Pulo Mas entah daerah apa itu, seharusnya aku berhenti di terminal Kampung Rambutan, rasa gelisah mulai menyelimuti hati anak kampung ini.  akhirnya alamat saudara yang di cari ketemu juga yaitu di Cimanggis Depok. Dirumah seorang DR (Doktor) muda M Faried Wajdy namanya, orang yang selama ini tak pernah tau dengan ku, rasa khawatir pasti ada. Karena takut tidak bisa menyesuaikan diri selama dirumahnya. Ternyata pemikiranku salah, dia supel, asyik diajak ngobrol dan sangat menghargai. Kekhawatiran itu mulai hilang.

Gedung Kedutaan Jerman
Minggu, 30 Desember 2012 aku dan keponakanku yang kuliah di Jakarta itu mulai mencari alamat Kedutaan Jerman yang ada di tengah-tengahnya Jakarta itu. Sehabis sholat subuh kami mulai berangkat, kami memilih pagi karena takut terjebak macet (taulah kondisi Jakarta gimana). Setelah mengelilingi Kota Jakarta, akhirnya alamat itu ditemukan. Kantor itu tidak jauh dari  Bundaran HI, tepatnya di belakang Hotel Mandarin Oriental. Hati terasa lega, Oh iya, sebelumnya aku sudah buat Janji online dulu dengan pihak Kedutaan supaya bisa masuk kantor itu, aku memilih tanggal 2 Januari 2013, jam 8:15 pagi. Jadi hari itu hanya Survey saja.

Sebelum pulang ke Depok kami jalan-jalan ke Monas, dengan beberapa uang aku bisa naik ke atas Monumen aNasional atau akrab disebut Monas. Dari atas Monas aku melihat bebas Kota Jakarta yang terbentang luas. Tapi aku tak melihat satupun manusia yang special, yang cantik, jelek, kaya, miskin, pintar, bodoh, terhormat, hina. Semuanya terlihat sama tak ada bedanya, padahal aku hanya melihat dari atas Monas yang tingginya tidak seberapa. Hmmmm......apa lagi Tuhan yang melihat dari langit yah..!? Sudahlah, buang rasa sombong ini jauh-jauh, kita tidak ada apa-apanya.

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Rabu, 02 Januari 2013. Seperti biasa selesai sholat subuh kami berangkat, jam 6 pagi sudah tiba Bundaran HI, sebelum jam 8 aku masih duduk-duduk didepan HI sambil melihat shooting siaran langsung berita pagi TV One. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, aku sudah berdiri didepan pintu gerbang Kedutaan yang dijaga sangat ketat itu. Ada sekitar 15 orang yang ngantre didepan gerbang itu, aku diurutan ke 10 dari depan, namun antre berjalan begitu cepat, karena yang tidak membuat janji online disuruh pulang dan tidak akan diizinkan masuk, begitupun yang telat. Waaahh.. disiplin sekali tempat ini, apakah semua orang di Jakarta seperti ini? Atau hanya kantor ini saja karena pola pikir dan kerjanya mengikuti gaya orang-orang di eropa? Tanyaku dalam hati.

Aku dipersilahkan masuk karena memenuhi syarat. O ya aku sudah mempersiapkan beberapa dokumen sebagai syarat mengajukan Visa Schengen sbb:
1.  Bukti Appointment online (Bukti perjanjian online)
2.  Paspor (Ini yang paling wajib)
3.  Asuransi kesehatan & perjalanan (aku pakai asuransi AXA)
4.  Tanda booking pesawat (Rute Indnesia-Jerman)
5.  Surat rekomendasi dari tempat kerja (aku rekom dari Wahid’s College
     tempat ku ngajar)
6.  Surat undangan pribadi dari pengundang
7.  Surat undangan resmi yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi negara
     setempat (Jerman)
8.  Surat rekomendasi dari kampus
9.  Rekening koran (data transaksi bank yang di cetak pihak bank 3 bulan
     terakhir)
10. Photo biometric 2 lembar ukuran 2,5 x 3,5 cm (Background putih)

Okesip. Untuk mengurus itu semua menggunakan uang yang dikirim dari Jerman. deg-degan aku naik ke lantai 2 dari gedung setinggi 8 tingkat itu. Aku dipersilahkan duduk menunggu, jam 8:15 tepat aku dipanggil, menyerahkan semua berkas, dan akhirnya di interview tentang alasan mau ke Jerman dsb. Lulus interview Bahasa Indonesia, selanjutnya aku di interview dengan Bahasa Inggris, semua berjalan lancar. Akhirnya aku diminta membayar uang Visa sebesar € 60 atau sebesar Rp.770.000,- dan aku diberikan selembar kertas sebagai kwitansi pembayaran dan tanggal kapan aku harus datang lagi kesana untuk mengambil visa. Aku pulang ke Depok tempat tinggalku sementara itu.

Sampai dirumah aku buka laptopku dan mengirimkan email kepada Johannes memberi kabar bahwa semuanya berjalan lancar. Dia senang mendengar itu, dan dia membalas email aku mengatakan bahwa dia dan ibunya (pensiunan guru bahasa Inggris di Jerman) siap menyambut kedatangan ku pada 15 Maret 2013 (mengajukan visa minimal 3 bulan sebelum keberangkatan) nanti, Johannes juga dua hari yang lalu mendatangi Universitas Stuttgart di Tubingen tempat dia kuliah dulu mencari kemungkinan peluang untuk aku kuliah disana. Wah anganku melayang setinggi-tingginya, hanya aku dan Tuhan lah yang tau bahagianya hatiku saat itu. Aku tak bisa bayangkan saat aku menginjak Bumi Eropa nanti, dengan Visa Schengen aku bisa bebas keluar masuk 25 negara di eropa kecuali Inggris. Paris akan menjadi negara kedua yang akan aku kunjungi, dan mersakan 9 jam penerbangan yang transit di Abu Dabbi itu.

Jum’at 04 Januari 2013 waktunya aku mengambil visa di Keduataan Besar Republic Federal Jerman itu. Jam 10 pagi aku sudah ikut antri untuk masuk mengambil visa, senangnya bukan main. Kulihat orang didepanku ada yang tersenyum setelah membuka paspornya (Visa ditempelkan didalam lembaran2 paspor), ada yang berderai air mata setelah membuka paspornya. “Ya Allah, termasuk kelompok manakah aku ini nanti, apakah orang yang tersenyaum bahagia ketika keluar dari gerbang ini, ataukah harus menangis tersedu-sedu ketika keluar dari gerbang ini?” tanyaku dalam hati. Tak terasa sudah giliranku.

“Benar dengan Tuan Rahman Yasir?”. Tanya petugas bagian penyerahan paspor itu.

“Ii iya Pak, benar Saya Sendiri” jawab aku dengan kaku.

Petugas itu memberikan paspor dan sebuah amplop. Aku tak sabar membukanya. Sampai diluar gerbang aku langsung membuka pasporku, halaman demi halaman dengan tergesa-gesa aku buka, namun aku tidak menemukan tempelan visa itu. Hanya ada cap warna biru dalam paspor itu. Hatiku mulai kacau balau talepok ajor, aku buka amplop itu. Ada 2 lembar surat yang tulisannya Bahasa Jerman, untung aku sempat diajarkan bahasa Jerman oleh Johannes sehingga aku dapat memahami inti dari isi surat itu, ternyata isinya adalah penolakan karena alasan aku masih terlalu muda dan takut nanti aku jadi Imigran gelap “Aaaah.. kurang sogok kaliiii..!!!” ucapku dengan keras.

Badanku serasa tak ada tulang, lemah gemulai, langit terasa mau runtuh, nafasku sesak, air mataku mulai mengalir. “Ya Allaaaaah... buyar sudah mimpi ku ini, apa aku tak berhak untuk merasakan bahagia seperti mereka yang serba berkecukupan dan bisa kemana saja dan kapan saja mereka mau??? Tuhaaaaan!!!... Kuatkan aakuuuuuuuuuuuuu,,,..!!!” aku mertap terduduk di pinggir pagar itu. Tak lama security mengusir ku karena disekeliling pagar itu ada mata-mata CCTV yang selalu mengintai.

Dengan langkah gontai aku berjalan menuju kolam air mancur ditengah bundaran HI itu. Aku tak begitu menghiraukan mobil yang melaju dengan kencang, saat itu aku merasa lebih baik mati saja daripada menanggung sesal dan kesal yang berkecamuk dihatiku. Aku berbaring telentang menghadap matahari agar Tuhan melihat ku di pinggir kolam air mancur di tengah Ibu Kota Jakarta itu, kepalaku terasa panas. Aku menceburkan kepalaku ke dalam kolam itu, aku tak ubahnya orang gila saat itu. Banyak orang-orang didalam mobil menyaksikan aku, aku tak peduli.

Jam 11;30 aku memutuskan untuk sholat jum’at di Masjid Istiqlal tempatnya orang-orang yang merasa terhormat itu sholat. Disitu aku menemukan ketenangan, aku buka lagi surat itu, dibagian bawah aku menemukan tulisan yang menyatakan kalau aku keberatan dengan keputusan itu aku bisa mengajukan banding, ide mulai muncul. Okelah aku coba ajukan banding, aku buat janji online lagi beberapa hari kemudian aku datang lagi ke sana dengan membawa Surat Banding, ternyata surat itu ditolak karena menggunakan Bahasa Indonesia, aku harus merubah surat itu kedalam bahasa inggris. Tak ada warnet disekitar sana, aku ditunjuk oleh security bahwa di lantai 6 Hotel Mandarin Oriental ada tempat potocpy dan warnet, tapi mahal. Okelah soal tarif aku tak permasalahkan, masuk hotel itu aku tak ubahnya raja, padahal mau ke warnetnya saja. Pertama kali aku naik lift jujur aku agak kaget, hanya berapa detik aku sudah di lantai 6 , cepat sekali entah berapa CC mesin tangga lift itu.

Aku dijejali dengan bahasa Mandarin (Mungkin mereka fikir aku anak cinta kaya, padahal anak hina miskin) aku jawab dengan bahasa inggris “I don’t speak chinese, I speak english”. Akhirnya komunikasi hanya bahasa inggris saja, aku pura-pura tak mengerti bahasa Indoesia (kalo ada yang nanya aku mau bilang dari Jepang,, hehehe). “Sejuk sekali hotel ini, kapaaaan ya aku bisa ngajak Mak tinggal disini?” pikiran ku mulai ngelantur.

30 menit berlalu surat selesai diketik dalam bahasa inggris, dan aku potocopykan beberapa lembar. Aku tercengang melihat tagihannya,
1.       Internet 35 menit dihitung 1 jam = Rp.90.000,-
2.       Print 7 ribu/lembar x 3 lembar = Rp.21.000,-
3.       Potocopy 5 ribu/lembar x 2 =Rp.10.000,=
Total= Rp.121.000,-

Yasamaaaaaann.....!!! kalo cak ini pacak untuk ngenet 40 jam. Celoteh bodoh dalam hatiku. Aku cepat-cepat kembali ke kedutaan. Surat diterima, aku diminta menunggu selama 2 minggu. Assalaaaat bundung.. alangakah lamo eeeh..!!!!
Aku memutuskan pulang ke Lubuklinggau, kali ini aku tak mau naik bis lagi, bukannya apa. Tapi kali ini aku mau pulang naik pesawat. Itu pertama kali aku naik pesawat dari Bandara Sukarno Hatta ke Bandara Sultan Mahmud Badarudin II Palembang. Ooooh.. begini ya rasanya naik pesawat, seperti naik ayunan.

Aku masih menyimpan segunung harapan itu, 2 minggu aku di Lubuklinggau. Pak pos mengantarkan surat ke rumah Ayah angkat ku, aku baca lagi-lagi surat itu Bahasa Jerman. aku ke warnet minta bantuan Mbah untuk menterjemahkannya. Hasilanya tetap sama, tetap ditolak.

Ya sudahlah. Mungkin Tuhan belum memberi aku kesempatan sekarang, Aku hanya bisa menulis keinginan-keinginanku namun penghapusnya kuserahkan pada Tuhan, hanya Beliau lah yang berhak memilih yang mana yang baik dan mana yang tidak baik untukku. Aku hanyalah pemimpi, yang selalu berharap mimpi-mimpi itu bisa terwujud. Aku hanyalah “anak janda tua miskin” yang berharap menjadi ”anak janda tua yang kaya”.

Negara Jerman tetap ada dalam daftar mimpiku. Arab, adalah negara pertama yang ingin ku tempuh bersama Mak sematawayang ku, Jerman negara kedua yang ingin ku kunjungi bersama permaisuriku, Jepang adalah negara ketiga yang ingin ku tempuh bersama permeisuri dan anak pertamaku, dan terakhir China negara yang memiliki tembok terbesar dan terpanjang di dunia itu akan ku kunjungi bersama keluarga besar ku. Aku ingin salah Satu dari anak ku menuntut ilmu dinegara-negara itu. Amin ya robbal alamin..

Kali agak panjang ceritnya, satu hal yang selalu saya harapkan adalah semoga pembaca dapat memetik hikmah dari perjalananku ini dan pada akhirnya mengucapkan “Amiiin” dalam hati untuk mendo’akan harpanku ini. Amiiiin..

Salam Penulis
Rahman Yasir



0 komentar: