Sabtu, 17 Agustus 2013

Perjuangan Heroik Sang Ayah (Kisah Memilukan Di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan)



Senyum yang berisikan harapan terpancar dari wajah Usman. Adalah anak seorang pemulung dan buruh cuci. Hari ini adalah hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Seperti biasa, ada banyak jenis perlombaan yang diadakan. Mulai dari lomba makan kerupuk, lari karung, panjat pinang dan masih banyak jenis perlombaan lainnya. Orang-orang bergembiara memperingati hari kemerdekaan ini, begitupun Usman.

“Yah, Ayah gak berangkat kerja (mulung) kan hari ini?” Tanya Usman pada Ayahnya.

“Tetap kerja nak, kan Ayah harus cari uang yang banyak untuk sekolah kamu. Tahun ini kamu sudah masuk SMP. Kan perlu banyak biaya”. Jawab ayah Usman sambil mengelus kepala Usman.

“Kan hari ini 17 Agustus yah, orang-orang libur semua untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia”.

“Nah, justru
hari ini lah ayah akan mendapatkan banyak plastik bekas. Ayah gak bisa libur seperti PNS dan pegawai kantor. Ayah harus kerja cari uang yang banyak untuk beli buku dan keperluan sekolah kamu nanti.” Ayah Usman berusaha menjelaskan kepada Usman.

“Oooooh... kalo Ibu libur gak hari ini yah?”.

“Nggak nak, ibumu juga harus kerja hari ini. mau cari uang yang banyak untuk kamu dan adik kamu. Ayah dan Ibumu harus kerja keras untuk membantu mewujudkan cita-cita besar kamu yang kamu tempelkan disamping tempat tidurmu.”

“Oh iya yah... !!” . Jawab Usman yang sudah mulai paham.

“Kamu gak apa-apa kalo mau ikut teman-temanmu lomba, siapa tau nanti dapat hadiah buku. Nanti adik biar ayah yang bawa.” Ayah berusaha menghibur hati Usman.
Usman ingin ikut merayakan hari kemerdekaan bersama kedua orang tuanya, namun orang tuanya harus tetap bekerja. Usman terpaksa merayakan hari kemerdekaan itu bersama teman-temannya.

Dari beberapa jenis perlombaan yang Usman ikuti hanya satu perlombaan yang mengantarkan Usman ke panggung kemenangan. Ya, lomba makan kerupuk. Usman meraih juara pertama yang hadiahnya sepatu roda, bukanlah hadiah yang dia harapkan. Yang dia harpkan adalah pakaian sekolah atau buku, sedangkan hadiah buku hanya untuk pemenang ke 3. Jadi, kemenangan itu bukanlah hal yang berarti bagi Usman.

“Halah... sepatu roda, mana bisa dipakai untuk sekolah kalo sepatu ini. jalanan menuju sekolah becek seperti itu!!” Usman mengomel dalam hatinya.

Usman pulang dengan membawa sepatu roda itu. Sebuah petak yang tak berjendela, berdinding triplek bekas plafon gedung pemerintah yang tak terpakai lagi, beratapkan terpal bekas hasil pemberian dari sopir truk pengangkut barang. Seperti itulah gambaran tempat tinggal Usman bersama Ayah, Ibu dan Adiknya.

Usman adalah anak yang cerdas, anak yang pandai merangkai mimpi-mimpi untuk keluar dari jerat kemiskinan. Buku-buku bekas hasil ayahnya mulung bagaikan kitab suci yang harus dia jaga, karena dari situlah banyak ilmu yang dia dapatkan. Kadang Usman merasa bersalah kepada ayahnya, buku yang seharunya dijual lagi malah dia ambil.
Melihat tak ada orang di Rumah, selesai meletakkan  sepatu hadiah itu Usman kembali ketempat keramaian yang ada di kampung sebelah yaitu tempat acara panjat pinang.

“Aku ingin menyaksiakan saja lah... badanku terlalu kecil kalo mau ikut panjat pinang. Sekalian bantu Ayah cari plastik bekas disana”. Kata  Usman dalam hati sambil menjujing sebuah karung..

Kini Usman sudah berada di sekitar tempat keramaian, dilihatnya ada gerobak milik ayahnya disitu. Rupanya Ayah Usman tertarik untuk ikut panjat pinang karena dia melihat ada bingkisan seragam sekolah SMP yang tergantung di atas batang pinang yang dilumuri dengan oli bekas itu. Dia teringat Usman yang sangat membutuhkan pakaian sekolah karena tak lama lagi sekolah akan dimulai namun belum ada anggaran pasti untuk membeli seragam sekolah dan buku-bukunya. sang ayah memutuskan untuk ikut panjat pinang meski usaianya tak muda lagi, sedangkan peserta panjat pinang adalah anak SMP dan SMA ayah Usman menjadi peserta tertua.

Sang ayah berusaha sekuat tenaga untuk menaklukkan licinnya oli bekas itu. Mencoba lagi gagal lagi, nafasnya sudah ngos-ngosan. Namun ayah terus berjuang. Sebuah harapan besar untuk mendapatkan seragam sekolah dan buku untuk anaknya Usman yang membuat tenaganya seolah tak ada habisnya.

Usman tersenyum bahagia melihat ayahnya ikut merayakan hari kemerdekaan. Dalam hati berharap sang ayah mampu meraih puncak batang pinang itu. Sedikit lagi ayah hampir meraih bingkisan yang berisi seragam sekolah SMP, namun lagi-lagi sang ayah merosot kebawah karena tak kuat menahan licinnya oli bekas. Berusaha lagi dan lagi, akhrinya sang Ayah bisa bertengger di puncak batang pinang itu. Bagaikan pahlawan yang meraih kemenangan ayah usman mengibarkan bendera yang tertancap di puncak batang pinang itu.

Buku sekolah adalah benda pertama yang dia raih karena berada paling dekat dengannya dan dia lemparkan ke arah Usman, bahagianya hati Usman saat itu karena akhrinya buku sekolah sudah didapatkan. Kini sang ayah ingin meraih seragam sekolah yang tergantung itu, sulit sekali rasanya karena tempatnya lebih ujung,, berusaha lagi namun lagi lagi gagal, akhirnya seragam itu berhasil diraihnya namun celakanya sisa-sisa oli ditangannya membuatnya tergelincir dan tak mampu lagi berpegang dengan satu tangan karena tangan satunya lagi menggenggam erat seragam itu..

Ayah usman hilang keseimbangan dan akhirnya....“Gedbuuuuuk.......!!!!!!” tak dapat dihindari, ayah usman terjatuh dengan posisi kepala dibawah, sang ayah tak sempat melindungi kepalanya karena tangannya menggenggam erat seragam itu. Keadaan menjadi mencekam, Usman berlari sekencangnya ke arah sang Ayah, dia peluk ayahnya dia berusah menyadarkan ayahnya, ayahnya sempat sadar.

“Usman, ini seragam sekolahmu nak. Kamu sekolah yang rajin ya nak”. Ucap ayahnya dengan suara yang berat dan tidak begitu jelas. Belum sempat usman menjawab.... ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya. Innalillahi wa’innailahiroji’unn.. ayah usman meninggal ditempat dengan keadaan leher patah.

“Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhh......!!! jangan mati ayaaaah..... ! jangan tinggalkan Usman dan adiiiiiiiik... Tuhaaaaaaan,, jangan kau ambil nyawa ayah kuuu.. kami butuh ayah, Ayaaaaah bantu Usman wujudkan mimpi-mimpi Usman!!! Temani usman belajar ayaaaah... kalau ayah pergi, siapa lagii yang pengang lampu templok saat usman belajar malam hari..!  ” Usman menjerit sekuat-kuatnya.

Semua penonton yang ada disitu terdiam, mereka ikut menangis mendengar jeritan hati Usman. Ya Tuhan bagaimana rasa jika aku jadi Usman.

Miskin dan yatim. Itulah keadaan Usman saat itu Ayah sang pahlawan keluarga kini telah menghadap yang maha kuasa, dengan keadaan seperti itu Usman tetap tegar, seragam sekolah itu menjadi pemyemangatnya untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya agar bisa keluar dari jerat kemiskinan dan kebodohan. Kini usman sekolah sambil bekerja, pulang sekolah usman menjual koran sore.

Malam itu, usman kuyup menggigil menahan dingin tanpa jas hujan di lampu merah simpang empat, tunggu pembeli jajakan koran menjelang magrib hujan tak reda. Usman murang menghitung laba. Surat kabar sore dijual malam, selepas isya melangkah pulang. Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu demi satu impian yang kerap ganggu tidurnya, anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu dipaksa pecahkan karang lemah jarinya terkepal. Cepat langkah waktu pagi menunggu si usman sibuk siapkan buku, tugas dari sekolah selesai setengah sanggupkah si usman diam di dua sisi.

Seperti itulah gambaran perjuangan Usman, berkelut dengan buku rongsokan dan koran membuatnya tumbuh menjadi anak yang cerdas. Banyak ilmu yang sudah terrekam dalam otakanya. Usman dikenal sebagai juara disekolahnya. Hal itu membuat guru-guru tertarik untuk membiayai sekolahnya sampai jenjang tertiggi.

Lulus SMA usman tak ada lagi di bumi bertiwi ini. dia berhasil meraih beasiswa kuiah di London, Inggris. 7 tahun kuliah sampai jenjang S2 Ilmu Hukum di sebuah Universitas di London. Kini Usman sudah kembali ke bumi ibu pertiwi, tak banyak orang mengenalnya sebagai anak pemuling yang mati karena jatuh dari batang pinang kemerdekaan itu. Setiap peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus membuat Usman teringat akan peristiwa belasan tahun lalu. Betapa kejamnya kehidupan.

Usman kini sudah menjadi orang terpenting di kotanya. Panti yatim adalah hal pertama yang dia bangun, membiayai siapapun dikota itu yang ingin berjuang dan ingin merubah hidup...
***

Kisah ini terinspirasi dari sebuah lagu miliknya Bang Iwan Fals “Sore Tugu Pancoran” yang dikombinasikan dengan keadaan yang apa adanya dan di persembahkan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang Ke-68. Semoga banyak anak indonesia khususnya para pembaca blog www.yasirnoman.blogspot.com yang mempunyai semangat juang untuk keluar dari ketidak layakan hidup dan kebodohan, ilmu bisa didapatkan dimana saja tak harus di sekolah, tak harus dengan mengikuti program les dsb. Di buku bekaspun bisa. Semuanya akan mudah asal kita mau.

Salam
Rahman Yasir

0 komentar: