Sabtu, 05 April 2014

PERADABAN YANG TIDAK BERADAB


Manifesto "Orang Orang Terhormat" di Bumi Muratara.

Kisah ini berawal dari hegemoni orang-orang yang merasa terhormat, yang merasa tinggi derajatnya apalagi dengan status sosialnya sebagai "pemuka" atau "tokoh" akan terakreditasi apabila mereka dikaruniai harta yang melimpah. Karena itulah yang didaulat sebagai simbol kejayaan, kebanggaan dan kekuatan, suatu manifesto atas kepintaran dan keberuntungan. Maka harta yang melimpah adalah senjata dan jaminan status sosial. Prestise tersendiri yang mengakar kuat, tertancap seperti pada fase kehidupan Jahili.
Sedangkan kemiskinan adalah aib bagi keluarga, kehinaan bagi golongan bahkan kesialan bagi sukunya. Kemiskinan merupakan simbol kelemahan, kebodohan dan ketidak berdayaan. Kemiskinan bagi orang-orang itu sama halnya menceburkan baju putih bersih ke dalam lumpur hitam yang kotor. Inilah suatu malapetaka. Maka untuk menghindari musibah ini, mereka berlomba mencari harta yang melimpah dengan menghalalkan segala cara, aturan halal dan haram dikuburnya hidup-hidup. Ini demi merapikan aib keluarga agar tidak
lusuh, tidak lecek apalagi tersingkap.

Pamer kekayaan telah mendarah daging dalam kehidupan dan telah menjadi “trend setter”. Tentu sangat tidak wajar jika kita menyaksikan seorang Pejabat yang sebelum menjabat hanya biasa naik mobil angkot, ojek atau mungkin sepeda ontel, lalu tiba-tiba pada hitungan bulan sudah memiliki rumah megah, mobil mewah, tanah di mana-mana, harta melimpah. Aksi pamer kekayaan para pejabat bergelar OKB alias Orang Kaya Baru itu berlangsung secara mencolok dan kasat mata. Celakanya masyarakat pun tidak bisa lagi berhitung, dari mana kekayaan yang mereka dapatkan. Apakah di dapatkan secara wajar atau tidak wajar, yang jelas dengan kekayaan yang mereka miliki dapat membutakan mata hati masyarakat sekitar. Mereka tetaplah dianggap orang terhormat, dipuja, dipuji dan di elu elukan. Na’udzubillah..

Memang sungguh aneh, banyak orang tidak merasa malu lagi pamer kekayaan bahkan di tengah masyarakat miskin sekalipun. Padahal jika dilihat dari penghasilannya sebagai pejabat tidak memungkinkan mereka sampai dapat hidup bergelimang kemewahan, apalagi hanya dalam waktu sekejap mata sekelabat bayang. Sungguh, tak ada lagi cahaya. Semuanya gelap dalam gulita, pekat dalam keburaman, manusia pintar tapi tidak cerdas merajalela kian melaju. Kehitaman dalam kepekatannya menandai kejahiliaan. Keburaman mendandani setiap lekuk kehidupan. Slogan tak ada Pejabat yang miskin sudah terpatri, seandainya ditemukan pejabat yang miskin, maka sudah dapat dipastikan dia akan dianggap sebagai pejabat bodoh, bengak, buyan, lali, tolol, bango dan dungu yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan yang ada.

Deraian pilu kaum dhuafa di balik bilik hanyalah desauan angin belaka, yang hanya terdengar silir dibalik dinding rumah megahnya. Ratapan kaum fakir hanya dianggap penyesalan pada nasib dan takdir. Gugatan-gugatan tak berdaya, hanya air matalah ungkapan nyatanya walau tak berupa kata. Bahwa masyarakat telah terlindas di bawah roda mobil mewahnya.
Masyarakat tersiksa, teraniaya oleh gilasan peradaban yang tak beradab. Kemudian, apa yang dapat dilakukan? Tak bisa apa-apa. Mereka tak berdaya, manusia yang diyakini sebagai jelmaan lain dari iblis. Manusia kotor, hina dan nista. Mereka hanya dihargai sebagai pelampiasan nafsu syetani belaka. Maka mereka di anggap tak lebih berharga dari hewan yang sedang kelaparan. Maka mereka pun berada pada "second lag" pada stratafikasi keluarga, suku, bahkan pada golongan sekalipun.

Orang-orang terhormat itu terus saja berkubang nista. Mengais keuntungan terhadap harta dalam galian-galian kerakusan. Guratan-guratan seakan akan mereka makhluk suci tanpa noda kian menjadi. Adagium orang kaya adalah orang yang beradab adalah tameng sakti untuk legalisasi untuk mencari harta tanpa peduli aturan Tuhan. Inilah suatu lukisan abad jahili yang sedang mendera tanah kelahiranku Bumi Muratara. Arsirannya merupakan kebiadaban. Warnanya adalah kebodohan. Hanya saja perilakunya, mereka bingkai demi sebuah peradaban. Dan semuanya itu berjalan, menggarisi setiap tingkah polah, menandai kisah, cerita-cerita kegelapan pada fase “orang-orang terhormat” di daerahku.

Saat-saat seperti ini, kita semua berharap masa akan berakhir. Menyelamatkan kita, membimbing keluar dari kegelapan dengan hidayah-Nya. Semoga…

M. Faried Wajdy : Aliansi Kelurga Rupit Rawas Bersatu "AKRAB"

0 komentar: