Manifesto "Orang Orang Terhormat" di Bumi Muratara.
Kisah ini
berawal dari hegemoni orang-orang yang merasa terhormat, yang merasa tinggi
derajatnya apalagi dengan status sosialnya sebagai "pemuka" atau
"tokoh" akan terakreditasi apabila mereka dikaruniai harta yang
melimpah. Karena itulah yang didaulat sebagai simbol kejayaan, kebanggaan dan
kekuatan, suatu manifesto atas kepintaran dan keberuntungan. Maka harta yang melimpah
adalah senjata dan jaminan status sosial. Prestise tersendiri yang mengakar
kuat, tertancap seperti pada fase kehidupan Jahili.
Sedangkan
kemiskinan adalah aib bagi keluarga, kehinaan bagi golongan bahkan kesialan
bagi sukunya. Kemiskinan merupakan simbol kelemahan, kebodohan dan ketidak
berdayaan. Kemiskinan bagi orang-orang itu sama halnya menceburkan baju putih
bersih ke dalam lumpur hitam yang kotor. Inilah suatu malapetaka. Maka untuk
menghindari musibah ini, mereka berlomba mencari harta yang melimpah dengan menghalalkan
segala cara, aturan halal dan haram dikuburnya hidup-hidup. Ini demi merapikan
aib keluarga agar tidak
lusuh, tidak lecek apalagi tersingkap.
Pamer kekayaan
telah mendarah daging dalam kehidupan dan telah menjadi “trend setter”. Tentu
sangat tidak wajar jika kita menyaksikan seorang Pejabat yang sebelum menjabat
hanya biasa naik mobil angkot, ojek atau mungkin sepeda ontel, lalu tiba-tiba
pada hitungan bulan sudah memiliki rumah megah, mobil mewah, tanah di
mana-mana, harta melimpah. Aksi pamer kekayaan para pejabat bergelar OKB alias
Orang Kaya Baru itu berlangsung secara mencolok dan kasat mata. Celakanya
masyarakat pun tidak bisa lagi berhitung, dari mana kekayaan yang mereka
dapatkan. Apakah di dapatkan secara wajar atau tidak wajar, yang jelas dengan
kekayaan yang mereka miliki dapat membutakan mata hati masyarakat sekitar.
Mereka tetaplah dianggap orang terhormat, dipuja, dipuji dan di elu elukan.
Na’udzubillah..
Memang sungguh
aneh, banyak orang tidak merasa malu lagi pamer kekayaan bahkan di tengah
masyarakat miskin sekalipun. Padahal jika dilihat dari penghasilannya sebagai
pejabat tidak memungkinkan mereka sampai dapat hidup bergelimang kemewahan,
apalagi hanya dalam waktu sekejap mata sekelabat bayang. Sungguh, tak ada lagi
cahaya. Semuanya gelap dalam gulita, pekat dalam keburaman, manusia pintar tapi
tidak cerdas merajalela kian melaju. Kehitaman dalam kepekatannya menandai
kejahiliaan. Keburaman mendandani setiap lekuk kehidupan. Slogan tak ada
Pejabat yang miskin sudah terpatri, seandainya ditemukan pejabat yang miskin,
maka sudah dapat dipastikan dia akan dianggap sebagai pejabat bodoh, bengak,
buyan, lali, tolol, bango dan dungu yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan
yang ada.
Deraian pilu
kaum dhuafa di balik bilik hanyalah desauan angin belaka, yang hanya terdengar
silir dibalik dinding rumah megahnya. Ratapan kaum fakir hanya dianggap
penyesalan pada nasib dan takdir. Gugatan-gugatan tak berdaya, hanya air
matalah ungkapan nyatanya walau tak berupa kata. Bahwa masyarakat telah terlindas
di bawah roda mobil mewahnya.
Masyarakat
tersiksa, teraniaya oleh gilasan peradaban yang tak beradab. Kemudian, apa yang
dapat dilakukan? Tak bisa apa-apa. Mereka tak berdaya, manusia yang diyakini
sebagai jelmaan lain dari iblis. Manusia kotor, hina dan nista. Mereka hanya
dihargai sebagai pelampiasan nafsu syetani belaka. Maka mereka di anggap tak
lebih berharga dari hewan yang sedang kelaparan. Maka mereka pun berada pada
"second lag" pada stratafikasi keluarga, suku, bahkan pada golongan
sekalipun.
Orang-orang
terhormat itu terus saja berkubang nista. Mengais keuntungan terhadap harta
dalam galian-galian kerakusan. Guratan-guratan seakan akan mereka makhluk suci
tanpa noda kian menjadi. Adagium orang kaya adalah orang yang beradab adalah
tameng sakti untuk legalisasi untuk mencari harta tanpa peduli aturan Tuhan.
Inilah suatu lukisan abad jahili yang sedang mendera tanah kelahiranku Bumi
Muratara. Arsirannya merupakan kebiadaban. Warnanya adalah kebodohan. Hanya
saja perilakunya, mereka bingkai demi sebuah peradaban. Dan semuanya itu
berjalan, menggarisi setiap tingkah polah, menandai kisah, cerita-cerita
kegelapan pada fase “orang-orang terhormat” di daerahku.
Saat-saat
seperti ini, kita semua berharap masa akan berakhir. Menyelamatkan kita,
membimbing keluar dari kegelapan dengan hidayah-Nya. Semoga…
M. Faried Wajdy
: Aliansi Kelurga Rupit Rawas Bersatu "AKRAB"
0 komentar:
Posting Komentar